Ini Alasan Psikologis Ketika Wanita Jadi Perebut 'Laki' Orang
foto: bertha/GARASIhealth
Jakarta, Istilah pelakor atau perebut laki orang masih menggema di kalangan pasangan suami istri. Tentu saja hal ini memicu retaknya rumah tangga seseorang dan menjadi perhatian masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan oleh psikolog dari GARASIhealth, Sri Juwita Kusumawardhani MPsi, seorang wanita yang menjadi perebut suami orang biasanya dilatarbelakangi oleh tekanan menikah yang tinggi dari pihak keluarga wanita tersebut.
"Bisa jadi tekanan buat menikah itu tinggi, tapi pasar yang single-nya nggak ketemu. Nah yang akhirnya memilih untuk 'nakal' atau ganjen sama suami orang," kata Wita, sapaan akrabnya.
"Kita bisa lihat juga apakah dia dapat didikan yang cukup atau nggak, maksudnya didikan tuh yang ditekankan oleh keluarganya, misalkan 'kamu tuh dapat pasangan yang kaya ya'," sambungnya.
Kendati demikian, menurut Wita, hanya sedikit wanita yang menjalin hubungan di luar pernikahan, masih banyak pula wanita yang masih berpikiran waras dan enggan melakukan perselingkuhan.
Berdasarkan pengalamannya menangani klien yang tak lain adalah anak dari korban perselingkuhan, justru keluarga dari pelakor tersebut mendukung aksi terlarang tersebut.
"Karena ada juga beberapa kasus yang aku temui, tapi kasus ini anak yang bapaknya selingkuh, jadi dia sedih. Nah dia bilang, si selingkuhannya ini itu seumur dia dan orang tuanya tahu karena membolehkan, karena support banyak materi," tutur wanita berhijab ini.
Wita menilai rasanya tega menjadi orang ketiga dalam pernikahan orang lain. Kontrol diri seorang wanita perebut suami orang disebut amat rendah sehingga akhirnya membuat mereka tak memahami norma.
"Istilahnya kayak nggak punya perasaan kan. Berarti empatinya itu nggak terlatih. Jadi dia nggak bisa menempatkan diri kalau saya atau ibu saya yang mengalami hal itu, misal bapak saya selingkuh. Apa saya tega lihat ibu saya diselingkuhin. Kalau mau selingkuh harusnya dia mikir gitu kan. Sama aja dia merusak rumah tangga bapak ibunya," papar Wita.
Wita mengakhiri penjelasannya, setiap orang butuh empati yang tinggi dan juga olah rasa untuk memperkuat kepedulian antar sesama agar kasus-kasus seperti ini tak makin bertambah.
SUMBER: WWW.GARASIGAMING.COM