Saturday, July 1, 2017

Tanggapan Psikolog Tentang Pamer Ketika Mudik

Ketika Mudik Jadi Ajang Pamer Para Social Climber, Ini Kata Psikolog

 

www.garasigaming.com
foto: bertha/GARASIhealth


Jakarta, Mudik bisa dijadikan ajang pamer oleh para 'social climber'. Karena ketika berada di kampung halaman, kebanyakan orang tidak mengetahui keadaan dan status sosial seseorang yang sebenarnya.

Pada dasarnya social climber menunjukkan perilaku seseorang untuk meningkatkan status sosialnya. Caranya dengan melakukan segala hal agar mendapat pengakuan status sosial lebih tinggi dari status yang sebenarnya.

Menurut psikolog Roslina Verauli, M.Psi., pada hakikatnya setiap manusia itu menghayati kehidupan sosialnya, namun ada beberapa orang yang menganggap bahwa kehidupan sosialnya sebagai sebuah kebanggaan untuk dirinya.

"Pada beberapa orang pakai cara yang instan, yaitu menempatkan diri di social circle tertentu. Nah itu adalah kebanggaan buat dia, karena berada di atas dari keadaan sebenarnya," ujarnya saat dihubungi GARASIhealth, Sabtu (1/7/2017).

Namun ada kalanya, hal ini juga dilakukan seseorang untuk mencapai kepuasan dalam hidupnya karena kecewa atas apa yang diraih atau dimilikinya selama ini.

"Itu merupakan kompensasi dari dirinya yang inferior terhadap lingkungannya," imbuh lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tersebut.

"Atau dia punya value atau nilai hidup tentang materialisme, sehingga dia menggabungkan materi dan social life-nya," jelas wanita yang akrab biasa disapa Vera ini.

Padahal seharusnya perasaan bangga akan diri sendiri baiknya didapat dari prestasi atau karier yang diraih, bukan karena dirinya menempati tingkat kehidupan atau status sosial yang lebih tinggi.



www.garasigaming.com 
foto: bertha/GARASIhealth

Di samping itu, orang yang memusatkan kehidupannya pada materialisme akan merasa berhasil bila materi yang ia dapatkan sesuai dengan apa yang diinginkannya dan mendapatkan pengakuan oleh tingkat sosial yang ditempatinya. Maka tidak heran, orang seperti ini gaya hidupnya cenderung glamour dan selalu ingin terlihat mewah.

"Hidup dalam hiper-realitas daripada realitas. Kehidupan hiper-realitas yang hanya mengacu pada apa yang ideal, bukan real," pungkasnya.



Berhenti Percaya pada 3 Mitos Stres Ini

foto: bertha/GARASIhealth Jakarta,GARASIhealth - Stres memang tak memandang usia dan jenis kelamin, tapi tak seharusnya Anda percaya...